LigaCapsa ~ Malam jadi saksinya, Kita berdua diantara kata. Yang tak terucap, Berharap waktu membawa keberanian, Untuk datang membawa jawaban. Hari telah senja awan mendung pun mulai menyelimuti kota metropolitan ini membuat suasana semakin gelap, di saat itu di sebuah SMU Negeri terkenal di kota itu nampak perempuan-perempuan membubarkan diri dari sebuah ruang aula olahraga. Mereka mengakhiri latihan rutin paduan suaranya.
Tawa dan canda khas perempuan-perempuan SMU mengiringi mereka bubar, satu demi satu mereka keluar dari halaman sekolah yang telah gelap itu. Sementara itu suara gunturpun terdengar pertanda hujan akan segera turun. Ada yang dijemput oleh orangtuanya, adapula yang membawa mobil pribadi, dan ada juga yang menggunakan angkutan umum. Aku sangatlah hafal dengan aktifitas anak-anak SMU ini, karena memang sudah hampir sebulan ini aku bekerja sebagai tukang cat disekolah ini. Usiaku memang sudah tidak muda lagi, saat ini aku berusia 48 tahun. Aku adalah seorang duda, istriku sudah lama minggat meninggalkanku setelah mengetahui aku tengah melakukan hubungan intim dengan keponakannya. Reputasiku sebenarnya lebih banyak didunia hitam, dulu aku dikenal sebagai seorang germo yang aku sambi dengan berdagang ganja. Namun beberapa bulan yang lalu semua para wanita yang aku jajakan terkena razia dan kemudian bisnis ganjaku hancur setelah kurir yang biasa membawa ganja ditembak mati oleh aparat.
Di sekolah ini aku tidaklah sendirian aku masuk bekerja dengan sahabatku yang bernama Marwoto yang seorang residivis kambuhan. Usianya tidak begitu jauh denganku yaitu 46 th, perawakannya tinggi besar rambutnya panjang dan kumal. Kami berdua sengaja hidup berpindah-pindah tempat. Kami bukanlah pekerja tetap di sekolah ini, kami hanya mendapat order untuk mengerjakan pengecatan kusen-kusen pintu-pintu kelas di sekolah ini. Kami tidak dibayar mahal namun kami memiliki kebebasan untuk tinggal dilingkungan sekolah ini. Maklumlah kami adalah perantau yang hidup nomaden. Di antara perempuan-perempuan tadi, ada salah seorang yang paling menonjol. Aku sangatlah hafal dengannya. Karena memang dia cantik, lincah dan aktif dalam kegiatan sekolah, sehingga akupun sering melihat dia mondar-mandir di sekolahan ini. Adintya Wulandari namanya. Postur tubuhnya mungil, wajahnya cantik dan imut-imut, kulitnya putih bersih serta wangi selalu, rambutnya ikal panjang sebahu dan selalu diikat model ekor kuda. Penampilannyapun modis sekali, seragam sekolah yang dikenakannya selalu berukuran ketat, rok seragam abu-abunya berpotongan sejengkal di atas lutut sehingga pahanya yang putih mulus itu terlihat, ukuran roknyapun ketat sekali membuat pantatnya yang sekal itu terlihat menonjol, sampai-sampai garis celana dalamnya pun terlihat jelas melintang menghiasi lekuk pantatnya, tak lupa kaos kaki putih selalu menutupi betisnya yang putih mulus itu.
Tidak bisa kupungkiri lagi aku tengah jatuh cinta kepadanya. Namun perasaan cintaku kepada Adintya lebih didominasi oleh hasrat sex semata. Gairahku memuncak apabila aku memandanginya atau berpapasan dengannya disaat aku tengah bekerja di sekolah ini. Ingin aku segera meyetubuhinya. Banyak sudah pelacur-pelacur kunikmati akan tetapi belum pernah aku menikmati perempuan perawan muda yang cantik dan sexy seperti Adintya ini. Aku ingin mendapatkan kepuasan itu bersama dengan Adintya. Informasi demi informasi kukumpulkan dari orang-orang disekolah itu, dari penjaga sekolah, dari tukang parkir, dari karyawan sekoah. Dari merekalah aku mengetahui nama perempuan itu. Dan dari orang-orang itupun aku tahu bahwa Adintya adalah seorang siswi yang duduk di kelas 2, umurnya baru 16 tahun. Beberapa saat yang lalu dia merayakan hari ulang tahunnya yang ke-16 di kantin sekolah ini bersama teman-temannya sekelas. Diapun termasuk siswi yang berprestasi, aktif dalam kegiatan paduan suara dan paskibra di sekolah ini. Dan yang informasi terakhir yang kudapat bahwa dia ternyata adalah salah seorang finalis foto model yang diselenggarakan oleh sebuah majalah khusus untuk remaja putri terkenal di Negeri ini dan bulan depan dia akan mengikuti seleksi tahap akhir.
Kini disaat sekolah telah sepi salah satu dari perempuan-perempuan anggota paduan suara tadi itu tengah merintih-rintih dihadapanku. Dia adalah perempuan yang terakhir kalinya masih tersisa di dalam sekolah ini, yang sedang asyik bercanda ria dengan temannya melalui HP-nya, semetara yang lainnya telah meninggalkan halaman sekolah. Beberapa menit yang lalu melalui sebuah pergulatan yang tidak seimbang aku telah berhasil meringkusnya dengan mudah, kedua tangannya kuikat dengan kencang kebelakang tubuhnya, dan mulutnya kusumpal dengan kain gombal. Setelah itu kuseret tubuhnya ke bangsal olahraga yang berada di bagian belakang bangunan sekolah ini. Tidak salah salah lagi perempuan itu adalah Adintya, perempuan cantik sang primadona sekolah ini yang telah lama kuincar. Aku sangat hafal dengan kebiasaannya yaitu menunggu jemputan supir orang tuanya di kala selesai latihan sore dan sang supir selalu terlambat datang setengah jam dari jam bubaran latihan. Sehingga dia paling akhir meninggalkan halaman sekolah. Kini dia meringkuk dihadapanku, dengan tangisannya yang teredam oleh kain gombal yang kusumpal di mulutnya. Sepertinya dia memohon-mohon sesuatu padaku tetapi apa peduliku, air matanya nampak mengalir deras membasahi wajahnya yang cantik itu. Sesekali nampak dia meronta-ronta mencoba melepaskan ikatan tali tambang yang mengikat erat di kedua tangannya, namun sia-sia saja, aku telah mengikat erat dengan berbagai simpul.
Posisinya kini bersujud di hadapanku, tangisannya kian lama kian memilukan, aku menyadari sepenuhnya bahwa dia kini tengah berada dalam rasa keputusasaan dan ketakutan yang teramat sangat di dalam dirinya. Kunyalakan sebatang rokok dan kunikmati isapan demi isapan rokok sambil kutatap tajam dan kupandangi tubuh perempuan cantik itu, indah nian tubuhnya, kulitnya putih bersih, pantatnya sekal berisi. Kunikmati rintihan dan tangis perempuan cantik yang tengah dilanda ketakutan itu, bagai seseorang yang tengah menikmati alunan musik di dalam ruangan sepi. Suara tangisnya yang teredam itu memecahkan kesunyian bangsal olahraga di sekolah yang tua ini. Sesekali dia meronta-ronta mencoba melepaskan tali ikatan yang mengikat kedua tangannya itu. Lama kelamaan kulihat tubuhnya mulai melemah, isak tangisnya tidak lagi sekeras tadi dan sekarang dia sudah tidak lagi meronta-ronta mungkin tenaganya telah habis setelah sekian lamanya menagis meraung-raung dengan mulutnya yang telah tersumbat. Sepertinya di dalam hatinya dia menyesali, kenapa Heru supirnya selalu terlambat menjemputnya, kenapa tadi tidak menumpang Desy sahabat karibnya yang tadi mengajaknya pulang bareng, kenapa tadi tidak langsung keluar dari lingkungan sekolah di saat latihan usai, kenapa malah asyik melalui HP bercanda ria dengan Fifi sahabatnya. Yah, semua terlambat untuk disesali pikirnya, dan saat ini sesuatu yang mengerikan akan terjadi pada dirinya.
“Beres Yon.., pintu pagar depan sudah gue tutup dan gembok”, terdengar suara dari seseorang yang tengah memasuki bangsal. Ternyata Marwoto dengan langkah agak gontai dia menutup pintu bangsal yang mulai gelap ini.
“OK.. Sip, gue udah beresin nih anak, tinggal kita pake aja..”, ujarku kepada Marwoto sambil tersenyum. Kebetulan malam ini Pak Parijan sang penjaga sekolah beserta keluarganya yang tinggal di dalam lingkungan sekolah ini yaitu sedang pulang kampung, baru besok lusa mereka kembali ke sekolah ini. Mereka langsung mempercayakan kepada kami untuk menjaga sekolah ini selama mereka pergi. Maka tinggallah kami berdua bersama dengan Adintya yang masih berada di dalam sekolah ini. Pintu gerbang sekolah telah kami rantai dan kami gembok sehingga orang-orang menyangka pastilah sudah tidak ada aktifitas atau orang lagi di dalam gedung ini. Pak Heru sang supir yang menjemput Adintya pastilah berpikiran bahwa Adintya telah pulang, setelah melihat keadaan sekolah itu. Kupandang lagi tubuh Adintya yang lunglai itu, tubuhnya bergetar karena rasa takutannya yang teramat sangat di dalam dirinya. Hujanpun mulai turun, ruangan di dalam bangsal semakin gelap gulita angin dinginpun bertiup masuk ke dalam bangsal itu, Marwoto menyalakan satu buah lampu TL yang persis diatas kami, sehingga cukup menerangi bagian disekitar kami saja. Kuhisap dalam-dalam rokokku dan setelah itu kumatikan. Mulailah kubuka bajuku satu per satu, hingga akhirnya aku telanjang bulat. Batang kemaluanku telah lama berereksi semenjak meringkus Adintya di teras sekolah tadi.
“OK.. Sip, gue udah beresin nih anak, tinggal kita pake aja..”, ujarku kepada Marwoto sambil tersenyum. Kebetulan malam ini Pak Parijan sang penjaga sekolah beserta keluarganya yang tinggal di dalam lingkungan sekolah ini yaitu sedang pulang kampung, baru besok lusa mereka kembali ke sekolah ini. Mereka langsung mempercayakan kepada kami untuk menjaga sekolah ini selama mereka pergi. Maka tinggallah kami berdua bersama dengan Adintya yang masih berada di dalam sekolah ini. Pintu gerbang sekolah telah kami rantai dan kami gembok sehingga orang-orang menyangka pastilah sudah tidak ada aktifitas atau orang lagi di dalam gedung ini. Pak Heru sang supir yang menjemput Adintya pastilah berpikiran bahwa Adintya telah pulang, setelah melihat keadaan sekolah itu. Kupandang lagi tubuh Adintya yang lunglai itu, tubuhnya bergetar karena rasa takutannya yang teramat sangat di dalam dirinya. Hujanpun mulai turun, ruangan di dalam bangsal semakin gelap gulita angin dinginpun bertiup masuk ke dalam bangsal itu, Marwoto menyalakan satu buah lampu TL yang persis diatas kami, sehingga cukup menerangi bagian disekitar kami saja. Kuhisap dalam-dalam rokokku dan setelah itu kumatikan. Mulailah kubuka bajuku satu per satu, hingga akhirnya aku telanjang bulat. Batang kemaluanku telah lama berereksi semenjak meringkus Adintya di teras sekolah tadi.
“Gue dulu ya..”, ujarku ke Marwoto.
“Ok boss..”, balas Marwoto sambil kemudian berjalan meninggalkan aku keluar bangsal. Kudekati tubuh Adintya yang tergolek dilantai, kuraba-raba punggung perempuan itu, kurasakan detak jantungnya yang berdebar keras, kemudian tanganku turun hingga bagian pantatnya yang sekal itu, kuusap-usap pantatnya dengan lembut, kurasakan kenyal dan empuknya pantat itu sambil sesekali kutepok-tepok. Tubuh Adintya kembali kurasakan bergetar, tangisnya kembali terdengar, sepertinya dia kembali memohon sesuatu, akan tetapi karena mulutnya masih tersumbat suaranyapun tidak jelas dan aku tidak memperdulikannya. Dari daerah pantat tanganku turun ke bawah ke daerah lututnya dan kemudian menyelinap masuk ke dalam roknya serta naik ke atas ke bagian pahanya. Kurasakan lembut dan mulus sekali paha Adintya ini, kuusap-usap terus menuju keatas hingga kebagian pangkal pahanya yang masih ditutupi oleh celana dalam. Karena sudah tidak tahan lagi, kemudian aku posisikan tubuh Adintya kembali bersujud, dengan kepala menempel dilantai, dengan kedua tangannya masih terikat kebelakang. Aku singkapkan rok seragam abu-abu SMU-nya sampai sepinggang.
“Ok boss..”, balas Marwoto sambil kemudian berjalan meninggalkan aku keluar bangsal. Kudekati tubuh Adintya yang tergolek dilantai, kuraba-raba punggung perempuan itu, kurasakan detak jantungnya yang berdebar keras, kemudian tanganku turun hingga bagian pantatnya yang sekal itu, kuusap-usap pantatnya dengan lembut, kurasakan kenyal dan empuknya pantat itu sambil sesekali kutepok-tepok. Tubuh Adintya kembali kurasakan bergetar, tangisnya kembali terdengar, sepertinya dia kembali memohon sesuatu, akan tetapi karena mulutnya masih tersumbat suaranyapun tidak jelas dan aku tidak memperdulikannya. Dari daerah pantat tanganku turun ke bawah ke daerah lututnya dan kemudian menyelinap masuk ke dalam roknya serta naik ke atas ke bagian pahanya. Kurasakan lembut dan mulus sekali paha Adintya ini, kuusap-usap terus menuju keatas hingga kebagian pangkal pahanya yang masih ditutupi oleh celana dalam. Karena sudah tidak tahan lagi, kemudian aku posisikan tubuh Adintya kembali bersujud, dengan kepala menempel dilantai, dengan kedua tangannya masih terikat kebelakang. Aku singkapkan rok seragam abu-abu SMU-nya sampai sepinggang.
“Waw indah nian.. Perempuan ini” gunamku sambil melototi paha dan pantat sekal perempuan ini. Kemudian aku lucuti celana dalamnya yang berwarna putih itu, terlihatlah dua gundukan pantat sekal perempuan ini yang putih bersih. Sementara Adintya terus menangis kini aku memposisikan diriku berlutut menghadap ke pantat perempuan itu, kurentangkan kedua kakinya melebar sedikit. Dengan jari tengahku, aku coba meraba-raba selangkangan perempuan ini. Disaat jari tengahku menempel pada bagian tubuhnya yang paling pribadi itu, tiba-tiba tubuh perempuan ini mengejang. Mungkin saat ini pertama kali kemaluannya disentuh oleh tangan seorang lelaki. Di saat kudapatkan bibir kemaluannya kemudian dengan jariku itu, aku korek-korek lubang kemaluannya. Dengan maksud agar keluar sedikit cairan kewanitaannya dari lubang kemaluannya itu. Tubuhnya seketika itu menggeliat-geliat disaat kukorek-korek lubang kemaluannya, suara desahan-desahanpun terdengar dari mulut Adintya, tidak lama kemudian kemaluannya mulai basah oleh cairan lendir yang dikeluarkan dari lubang kemaluannya. Setelah itu dengan segera kucabut jari tengahku dan kubimbing batang kemaluanku denga tangan kiriku kearah bibir kemaluan Adintya. Pertama yang aku pakai adalah gaya anjing, ini adalah gaya favoritku. Dan..
“Hmmpphh..”, terdengar rintihan dari mulut Adintya disaat kulesakkan batang kemaluanku kebibir kemaluannya. Dengan sekuat tenaga aku mulai mendorong-dorong batang kemaluanku masuk kelubang kemaluannya. Rasanya sangat seret sekali, karena sempitnya lubang kemaluan perempuan perawan ini. Aku berusaha terus melesakkan batang kemaluanku kelubang kemaluannya dengan dibantu oleh kedua tanganku yang mencengkram erat pinggulnya. Kulihat tubuh Adintya mengejang, kepala mendongak keatas dan sesekali menggeliat-geliat. Aku tahu saat ini dia tengah merasakan sakit dan pedih yang tiada taranya. Keringat terus mengucur deras membasahi baju seragam sekolahnya, namun harum wangi parfumnya masih terus tercium, membuat segarnya aroma Adintya saat itu, rintihan-rintihan terdengar dari mulutnya yang masih tersumpal itu. Dan akhirnya setelah sekian lamanya aku terus melesakkan batang kemaluanku, kini bobol sudah lubang kemaluan Adintya. Aku telah berhasil menanamkan seluruh batang kemaluanku ke dalam lubang kemaluannya. Kurasakan kehangatan di sekujur batang kemaluanku, dinding kemaluan Adintya terasa berdenyut-denyut seperti mengurut-urut batang kemaluanku.
Sejenak kudiamkan batang kemaluanku tertanam di dalam lubang kemaluannya, kunikmati denyutan-demi denyutan dinding kemaluan Adintya yang mencengkram erat batang kemaluanku. Selanjutnya kurasakan seperti ada cairan mengucur mengalir membasahi batang kemaluanku dan kemudian meluber keluar menetes-netes. Ah.. Ternyata itu darah, berarti aku telah merenggut keperawanan dari perempuan cantik ini. Sementara itu kepala Adintya kembali tertunduk di lantai, desah nafasnya terdengar keras, tubuhnya melemas. Setelah itu, aku mulai memompakan kemaluanku di dalam lubang kemaluannya. Kedua tanganku yang mencengkram erat pinggulnya juga membantu memajumundurkan tubuhnya. Tubuh Adintya kembali tegang, rintihan kembali terdengar. Semakin lama aku semakin mempercepat gerakanku, hingga tubuh Adintya tersodok-sodok dengan cepat sesekali, tubuhnya juga menggeliat-geliat. Raut mukanya meringis-ringis akibat rasa sakit di selangkangannya. Hujanpun mulai turun dengan deras dan aku ingin menikmati rintihan-rintihan dari perempuan ini. Sementara aku terus menyodok-nyodok dari belakang, aku putuskan untuk membuka gombal yang sedari tadi membekap mulutnya.
Dan, “Aakk.. Akkhh.. Oohh.. Ooh.. Iihh.. Oohh..”, suara erangan Adintya kini terdengar, kunikmati suara-suara itu sebagai penghantar diriku yang tengah menyetubuhi perempuan ini. Suaranya menggema di seluruh bangsal olahraga ini, namun masih tertelan oleh suara derasnya hujan diluar. Adintya semakin terlihat kepayahan, tubuhnya melemah namun aku masih terus menggenjotnya, gerakanku semakin cepat. Bosan dengan posisi itu aku cabut kemaluanku dari lubang kemaluannya dan kulihat darah berceceran membasahi selangkangannya dan kemaluanku. Sejenak Adintya mendesahkan nafas lega, kubalik tubuhnya, dan kini posisi dia telentang. Setelah itu kurentangkan kedua kakinya dan kulipat hingga kedua pahanya menyentuh dadanya. Kulihat jelas kemaluan perempuan ini, indah sekali. Bulu-bulunya yang masih jarang-jarang itu tumbuh menghias di sekitar bibir kemaluannya.
Dan, “Aakk.. Akkhh.. Oohh.. Ooh.. Iihh.. Oohh..”, suara erangan Adintya kini terdengar, kunikmati suara-suara itu sebagai penghantar diriku yang tengah menyetubuhi perempuan ini. Suaranya menggema di seluruh bangsal olahraga ini, namun masih tertelan oleh suara derasnya hujan diluar. Adintya semakin terlihat kepayahan, tubuhnya melemah namun aku masih terus menggenjotnya, gerakanku semakin cepat. Bosan dengan posisi itu aku cabut kemaluanku dari lubang kemaluannya dan kulihat darah berceceran membasahi selangkangannya dan kemaluanku. Sejenak Adintya mendesahkan nafas lega, kubalik tubuhnya, dan kini posisi dia telentang. Setelah itu kurentangkan kedua kakinya dan kulipat hingga kedua pahanya menyentuh dadanya. Kulihat jelas kemaluan perempuan ini, indah sekali. Bulu-bulunya yang masih jarang-jarang itu tumbuh menghias di sekitar bibir kemaluannya.
“Ohh.. Jangann Bang.. Ampun.. Bang.. Oohh.. Sakitt sekali.. Bang”, terdengar Adintya merintih pelan memohon belas kasihan kepadaku. Dengan menyeringai aku tindih tubuh Adintya itu. Kembali aku benamkan batang kemaluanku di dalam lubang kemaluannya.
“Aakkhh..”, Adintya terpekik matanya terpejam, roman mukanya kembali meringis kesakitan dikala aku menanamkan batang kemaluanku ke dalam lubang kemaluannya. Setelah itu aku kembali memompakan tubuhku, menggenjot tubuh Adintya. Batang kemaluanku dengan gaharnya mengaduk aduk, menyodok-nyodok lubang kemaluannya. Tubuh Adintya kembali tersodok-sodok. Sesekali kuputar-putar pinggulku, yang membuat tubuh Adintya kembali kelojotan, dari bibir Adintya terdengar desahan-desahan halus
“Aakkhh..”, Adintya terpekik matanya terpejam, roman mukanya kembali meringis kesakitan dikala aku menanamkan batang kemaluanku ke dalam lubang kemaluannya. Setelah itu aku kembali memompakan tubuhku, menggenjot tubuh Adintya. Batang kemaluanku dengan gaharnya mengaduk aduk, menyodok-nyodok lubang kemaluannya. Tubuh Adintya kembali tersodok-sodok. Sesekali kuputar-putar pinggulku, yang membuat tubuh Adintya kembali kelojotan, dari bibir Adintya terdengar desahan-desahan halus
“Ohh.. Enngghh.. Oohh.. Ohh.. Oohh..”. Setelah sekian menit lamanya aku menyetubuhinya, aku merasakan diriku akan berejakulasi. Segera kupeluk kepalanya dan kucengkram erat dengan kedua tanganku setelah itu irama gerakanku kupercepat.
“Aakkhh..” akupun mengejan, tubuhku mengeras.
“Croot.. Croott.. Croott..” Akupun berejakulasi, kusemprotkan air maniku di dalam rahimnya. Banyak sekali air mani yang kukeluarkan menyemprot membasahi liang kemaluannya hingga meluber keluar meleleh membasahi pahanya. Kulihat raut muka Adintya saat itu nampak panik, sinar matanya menunjukkan kekalahan dan kepedihan. Dengan tatapan sayu dia memandangiku disaat aku mengejan menyemprotkan air maniku yang terakhir. Ahh nikmat sekali perempuan ini, baru kali ini aku merengut keperawanan seorang perempuan kota yang cantik. Setelah itu akupun merebahkan tubuhku menindih tubuhnya yang lemah, sambil mengatur nafasku. Tubuhku berguncang-guncang akibat dari isakan-isakan tangisnya serta nafasnya yang tersengal-sengal, sementara itu kemaluanku kubiarkan tertanam di dalam lubang kemaluannya.
“Aakkhh..” akupun mengejan, tubuhku mengeras.
“Croot.. Croott.. Croott..” Akupun berejakulasi, kusemprotkan air maniku di dalam rahimnya. Banyak sekali air mani yang kukeluarkan menyemprot membasahi liang kemaluannya hingga meluber keluar meleleh membasahi pahanya. Kulihat raut muka Adintya saat itu nampak panik, sinar matanya menunjukkan kekalahan dan kepedihan. Dengan tatapan sayu dia memandangiku disaat aku mengejan menyemprotkan air maniku yang terakhir. Ahh nikmat sekali perempuan ini, baru kali ini aku merengut keperawanan seorang perempuan kota yang cantik. Setelah itu akupun merebahkan tubuhku menindih tubuhnya yang lemah, sambil mengatur nafasku. Tubuhku berguncang-guncang akibat dari isakan-isakan tangisnya serta nafasnya yang tersengal-sengal, sementara itu kemaluanku kubiarkan tertanam di dalam lubang kemaluannya.
Kubelai-belai rambutnya, kukecup-kecup pipi dan bibirnya. Terasa lembut sekali bibirnya, kumainkan lidahku di dalam mulutnya, sejenak aku bercumbu mesra dengan Adintya. Dia hanya terisak-isak dengan nafas yang terus tersengal-sengal. Akhirnya kusudahi permainanku ini, aku bangkit sambil mencabut kemaluanku.
“Ouugghh..”, Adintya merintih panjang saat kutarik kemaluanku keluar dari lubang kemaluannya. Kulihat diselangkangannya telah penuh dengan cairan-cairan kental dan darah penuh membasahi bulu-bulu kemaluannya. Tak kusadari Marwoto ternyata telah berdiri didekatku, dan rupanya dia telah telanjang bulat menunggu gilirannya, tubuhnya yang kekar dan tinggi itu nampak semakin sangar dengan banyaknya gambar-gambar tattoo yang menghiasi sekujur dada dan lengannya. Dengan rasa toleran sebagai seorang sahabat, akupun menyingkir dari tubuh Adintya yang tergolek lemas dilantai. Aku ambil jarak beberapa meter dari tubuh Adintya kemudian aku kembali merebahkan tubuhku. Dengan tiduran terlentang dilantai aku menggali kembali rasa nikmatku setelah melampiaskan hasratku ke Adintya tadi. Sedang asyik-asyiknya aku istirahat, terdengar olehku bunyi sesuatu,
“Ouugghh..”, Adintya merintih panjang saat kutarik kemaluanku keluar dari lubang kemaluannya. Kulihat diselangkangannya telah penuh dengan cairan-cairan kental dan darah penuh membasahi bulu-bulu kemaluannya. Tak kusadari Marwoto ternyata telah berdiri didekatku, dan rupanya dia telah telanjang bulat menunggu gilirannya, tubuhnya yang kekar dan tinggi itu nampak semakin sangar dengan banyaknya gambar-gambar tattoo yang menghiasi sekujur dada dan lengannya. Dengan rasa toleran sebagai seorang sahabat, akupun menyingkir dari tubuh Adintya yang tergolek lemas dilantai. Aku ambil jarak beberapa meter dari tubuh Adintya kemudian aku kembali merebahkan tubuhku. Dengan tiduran terlentang dilantai aku menggali kembali rasa nikmatku setelah melampiaskan hasratku ke Adintya tadi. Sedang asyik-asyiknya aku istirahat, terdengar olehku bunyi sesuatu,
“Srett.. Sreett.. Sreett.. Brett..” diikuti oleh isak tangis Adintya yang terdengar kembali. Setelah kuperhatikan, oh ternyata Marwoto dengan sebuah pisau cutter ditangannya tengah sibuk merobek-robek baju seragam Adintya. Dengan kasarnya Marwoto mencabik-cabik baju seragam putih Adintya, termasuk BH putih yang dikenalkannya. Dan akhirnya kini tubuh Adintya telah telanjang, kedua buah payudaranya yang tidak begitu besar kini terpampang jelas. Termasuk juga rok abu-abu yang melilit di pinggangnya setelah kusingkap tadi dirobek-robeknya, haya sepasang kaos kaki putih setinggi betisnya serta sepatu kets masih dikenakannya.
“Ouuhh.. Ammpuunn.. Bang.. Ampun..”, suara Adintya terdengar lirih memohon-mohon ampun ke Marwoto yang sepertinya tengah kalap kemasukan setan itu. Setelah itu dengan gombal yang tadi menyumpal mulut Adintya, Marwoto membersihkan daerah selangkangan Adintya. Dengan sedikit kasar Marwoto mengusap-usap selangkangan Adintya sampai-sampai tubuh Adintya menggeliat-geliat. Akupun kembali merebahkan tubuhku, mengatur nafasku serta kunyalakan sebatang rokok sebagai penghantar istirahatku.
“Ouuhh.. Ammpuunn.. Bang.. Ampun..”, suara Adintya terdengar lirih memohon-mohon ampun ke Marwoto yang sepertinya tengah kalap kemasukan setan itu. Setelah itu dengan gombal yang tadi menyumpal mulut Adintya, Marwoto membersihkan daerah selangkangan Adintya. Dengan sedikit kasar Marwoto mengusap-usap selangkangan Adintya sampai-sampai tubuh Adintya menggeliat-geliat. Akupun kembali merebahkan tubuhku, mengatur nafasku serta kunyalakan sebatang rokok sebagai penghantar istirahatku.
Sementara itu hujan diluar mulai reda, namun angin dingin terus berhembus masuk ke dalam bangsal tempat pembantaian Adintya ini. Tiba-tiba semenit kemudian di kala aku sedang rebahan dan asyik-asyiknya menikmati rokokku. Terdengar olehku teriakan Adintya yang memilukan “Aaakkhh..”.
Akupun terbangun, kulihat dari asal suara itu. Ternyata Marwoto tengah menyodomi Adintya. Posisi Adintya kembali bersujud dengan kepala yang mendongak keatas, bola matanya terbelalak, wajahnya cantiknya terlihat miris sekali, mulutnya menganga membentuk huruf “O” dan Marwoto berada dibelakangnya tengah asyik menanamkan batang kemaluannya yang besar itu ke dalam lubang anus Adintya.
“Aakkhh..” Marwotopun mendesah lepas tatkala dia berhasil menanamkan batang kemaluannya dilubang anus Adintya.
Akupun terbangun, kulihat dari asal suara itu. Ternyata Marwoto tengah menyodomi Adintya. Posisi Adintya kembali bersujud dengan kepala yang mendongak keatas, bola matanya terbelalak, wajahnya cantiknya terlihat miris sekali, mulutnya menganga membentuk huruf “O” dan Marwoto berada dibelakangnya tengah asyik menanamkan batang kemaluannya yang besar itu ke dalam lubang anus Adintya.
“Aakkhh..” Marwotopun mendesah lepas tatkala dia berhasil menanamkan batang kemaluannya dilubang anus Adintya.
Setelah itu lubang anus Adintya dihujani sodokan-sodokan batang kemaluan Marwoto, Marwoto melakukannya dengan gerakan yang cepat dan kasar sampai-sampai tubuh Adintya terdorong-dorong dan tersodok-sodok dengan keras. Tidak ada suara rintihan lagi yang keluar dari mulut Adintya mungkin karena suara tertahan ditenggorokannya karena menahan rasa sakit yang dideritanya, akan tetapi tubuhnya masih kaku menegang, raut mukanya kini meringis-ringis, mulutnya masih saja menganga terbuka. Rasa sakit dan pedih kembali melanda dirinya yang tengah disodomi oleh Marwoto. Melihat ini aku kebali terangsang, hasrat birahiku kembali memuncak. Aku bangkit dari rebahanku mendekati mereka berdua. Kemaluanku kembali ereksi melihat keadaan Adintya yang tengah menderita. Kuamati wajahnya dari dekat dan dia masih terlihat cantik, keringatpun mengucur deras membasahi wajah cantiknya. Aku dengan posisi berlutut berada didepan wajah Adintya, yang masih mendongak kesakitan itu, sementara itu seluruh tubuhnya terus tersodok-sodok karena ulah Marwoto yang menggenjotnya dari belakang. Kini aku dan Marwoto berhadap-hadapan sementara Adintya berada ditengah-tengah kami. Marwotopun menghentikan sejenak genjotannya untuk memberikan kesempatan padaku memposisikan diri. Kuraih batang kemaluanku yang telah berdiri tegak, dan kujejalkan kemulut Adintya yang masih menganga itu.
Ah, rasa dingin dan basah menyelimuti sekujur batang kemaluanku tatkala masuk di dalam rongga mulut Adintya. Nikmat rasanya, juga kurasakan kelembutan mulut dan bibirnya di sekujur batang kemaluanku. Setelah itu kembali Marwoto menggenjot tubuh Adintya dari belakang. Kulirik mata Adintya menjadi sayu, nafasnya tersengal-sengal, aku hanya berdiri santai saja, karena tubuh Adintya yang bergerak-gerak maju mundur sebagai akibat sodokan-sodokan Marwoto yang tengah mulai menyodominya kembali dari belakang. Kubelai-belai rambutnya yang indah, sambil kutatap wajah dan tubuhnya.
“Ahh.. Ahh.. Ah..”, nikmat sekali rasanya mulut perempuan ini, sambil memejamkan mata dan menikmati rokok aku terus merasakan kenikmatan di sekujur batang kemaluanku yang tengah dikulum keluar masuk mulut Adintya. Tidak lama kemudian Marwoto semakin cepat menggenjot, memompa lubang anus Adintya, tubuhnya semakin banyak mengeluarkan keringat, kulihat dia sepertinya akan berejakulasi. Benar saja, tubuhnya nampak menggelinjang dan dan menegang, dari mulut Marwoto keluar pekikan kecil yang disusul oleh desahan yang penuh dengan kepuasan. Marwotopun berejakulasi dilubang dubur Adintya. Setelah itu tubuh Marwotopun ambruk disamping tubuh Adintya.
“Ahh.. Ahh.. Ah..”, nikmat sekali rasanya mulut perempuan ini, sambil memejamkan mata dan menikmati rokok aku terus merasakan kenikmatan di sekujur batang kemaluanku yang tengah dikulum keluar masuk mulut Adintya. Tidak lama kemudian Marwoto semakin cepat menggenjot, memompa lubang anus Adintya, tubuhnya semakin banyak mengeluarkan keringat, kulihat dia sepertinya akan berejakulasi. Benar saja, tubuhnya nampak menggelinjang dan dan menegang, dari mulut Marwoto keluar pekikan kecil yang disusul oleh desahan yang penuh dengan kepuasan. Marwotopun berejakulasi dilubang dubur Adintya. Setelah itu tubuh Marwotopun ambruk disamping tubuh Adintya.
Akan tetapi posisiku masih tetap seperti semula, kemaluanku masih tertanam dimulut Adintya. Kubuang rokokku dan dengan kedua tanganku kuraih kepala Adintya, kini dengan gerakan tanganku kepala Adintya ku maju-mundurkan. Ah.. Nikmat rasanya, kemaluanku seperti dipijit-pijit dengan mulut Adintya, bibir sensualnya melingkari batang kemaluanku, memberi rasa nikmat tersendiri, kurasakan pula lidahnya menggelitik kepala batang kemaluanku, ah nikmatnya penuh sensasi. Setelah sekian lama menikmati itu, tiba-tiba kembali aku akan berejakulasi, maka kugerakkan kepalanya semakin cepat untuk mengulum batang kemaluanku. Dan, akupun berejakulasi di dalam mulut Adintya, air maniku memancar keluar membasahi mulut hingga tenggorokannya sampai-sampai meleleh keluar dari mulutnya. Rasa nikamat yang tiada taranya kembali melanda sekujur tubuhku. Kucabut batang kemaluanku dari mulutnya, dan Adintya terbatuh-batuk sepeti akan muntah, samar-samar kulihat mulutnya penuh dengan cairan-cairan lendir kental sampai membuat mulutnya nampak mengkilat karena belepotan cairan air mani.
Wajahnya yang lesu dan lemah sejenak memandangku dengan tatapan mata sayu penuh dengan keputus-asaan serta air mata yang kembali meleleh. Kemudian dia terjatuh lunglai dilantai, hanya suara nafasnya yang terdengar menderu-deru tersengal-sengal dan isakan-isakan tangisnya. Aku kembali merebahkan tubuhku di samping Adintya, akhirnya akupun tertidur. Tidak lama rupanya aku tertidur, dan kemudian terjaga setelah kembali telingaku menagkap suara erangan-erangan dan rintihan-rintihan. Setelah aku bangun ternyata Marwoto tengah menyetubuhi Adintya, tubuh telanjang Adintya yang hanya tinggal mengenakan sepasang kaos kaki dan sepatu kets ditiduri oleh Marwoto. Dengan garangnya Marwoto menggenjot tubuh Adintya, iramanya cepat dan kasar sekali, tubuh lemah Adintya kembali terguncang-guncang. Kini nampak roman muka Adintya telah lunglai sepertinya hampir pingsan, beberapa saat yang lalu masih kudengar suara rintihan lemah yang keluar dari mulut Adintya namun kini suara itu hilang sama sekali. Tidak lama kemudian Marwotopun berejakulasi, kembali rahim Adintya disiram dan dipenuhi oleh cairan air mani. Adintya nampak tidak sadarkan diri dan pingsan.
Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam, 4 jam lamanya kami memperkosa Adintya. Kini tibalah waktu kami untuk angkat kaki, setelah kami berpakaian rapi kemudian kami angkat tubuh Adintya dari ruang aula menuju ke sebuah gudang dibagian paling belakang sekolah ini. Kami rebahkan perempuan cantik primadona sekolah ini di sana. Di sisinya kami tebarkan baju seragam sekolah, tasnya serta HP miliknya yang sedari tadi terus berbunyi. Kini perempuan cantik itu, terkulai pingsan di dalam gudang yang kotor, tubuh telanjangnya dipenuhi dengan cairan-cairan air mani yang mulai mengering, juga darah yang nampak masih menetes dari lubang duburnya sebagai akibat disodomi oleh Marwoto tadi. Kemaluannyapun terlihat kemerahan dan membengkak. Puas kami memperkosanya.
Tepat pukul 22.15 setelah kami menghilangkan jejak kami, kamipun pergi meninggalkan gedung sekolah ini, berjalan menuju ke pelabuhan dikota metropolitan ini untuk menumpang kapal yang entah kemana membawa kami, menuju ke suatu tempat yang jauh dari kota metropolitan ini.
Situs Resmi Poker & Domino99 Online
* P.E.N.A.S.A.R.A.N *
0 komentar:
Posting Komentar